Membaca Titi Mentawai

Oleh Empuesa 

Titi dibuat dengan cara menusukkan (cacah atau rajah) jarum (pada zaman dahulu menggunakan duri dari pohon jeruk) pada kulit tubuh. Setelah kulit terkelupas, selanjutnya dimasukkan bubuk hitam dari arang pohon damar atau tempurung kelapa dan dibiarkan mengering.

 A. Pendahuluan

Titi adalah sebutan suku Mentawai terhadap lukisan atau rajah pada tubuh mereka. Sementara umumnya orang menyebutnya tato. Pembuat titi disebut dengan Sipatiti sedangkan bahan untuk membuat titi disebut batiti. Suku Mentawai adalah salah satu suku terbesar yang mayoritas hidup tersebar di pulau Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat (William Marsden, 1999).

Titi dibuat dengan cara menusukkan (cacah atau rajah) jarum (pada zaman dahulu menggunakan duri dari pohon jeruk) pada kulit tubuh. Setelah kulit terkelupas, selanjutnya dimasukkan bubuk hitam dari arang pohon damar atau tempurung kelapa dan dibiarkan mengering. Proses ini dirasakan sangat menyakitkan. Oleh karena itu tidak sedikit orang Mentawai akan mengalami demam tinggi beberapa hari selepas di titi.

Meskipun sakit, mereka harus di titi karena titi bagi suku Mentawai dianggap sakral karena salah satu alasan penitian (pembuatan titi) suku Mentawai adalah untuk menghormati leluhur dan kepercayaan mereka yang bernama Arat Sabulungan. Sebuah kepercayaan yang menganggap bahwa alam dikuasai oleh dewa-dewa yang ada dilangit, bumi, dan di bawah bumi.

Motif titi Mentawai rata-rata berupa motif pohon sagu. Motif ini akan menghias seluruh tubuh dari mulai kepala hingga ujung jari kaki. Secara kosmologis, Sagu dianggap sebagai pemberi kehidupan orang Mentawai, yaitu ketika mereka datang di kepulauan Mentawai untuk pertama kalinya. Oleh karena itu, selain untuk menghormati kehidupan, pencacahan motif pohon sagu dimaksudkan agar kehidupan mereka tetap terlindungi (Albert C. Kruyt, 1979).

Titi wajib bagi secara adat dan dilakukan secara kolektif berdasar arahan aturan adat. Titi mulai dirajah pada anak laki-laki sejak umur tujuh tahun. Tubuh anak tersebut akan penuh titi seiring pertambahan umur anak (Marsden, 1999). Dalam konteks ini, titi bukan merupakan keinginan pribadi yang dapat dilakukan semaunya, sehingga yang terjadi hanya egoisme dan gengsi.

Namun, saat ini titi mulai hilang dari kehidupan suku Mentawai. Hal ini disebabkan oleh tiga hal, yaitu anggapan kuno dari orang luar, pemaksaan untuk memeluk agama resmi oleh pemerintah Orde Baru, dan persepsi yang dibawa anak-anak muda Mentawai yang menempuh pendidikan di luar Kepulauan Mentawai (Marsden, 1999. Kruyt, 1979).

Dalam kajian budaya, jika dilihat secara apa adanya (fenomenologi) pandangan orang luar Mentawai (baca: tidak memahami kebudayaan Mentawai), maka titi tidak lebih hanyalah sebuah gambar dengan coretan-coretan atau tanda tertentu, tidak teratur, dan nampak membuat kotor tubuh pemakainya. Dalam konteks ini, titi dianggap memberi keburukan bagi tubuh pemakainya.

Sementara itu, bagi Sipatiti dan suku Mentawai, titi adalah sebuah coretan-coretan (baca: simbol) yang memiliki banyak makna. Salah satunya adalah sebagai media sakral yang berkait erat dengan kepercayaan dan kosmologi mereka. Suku mentawai meyakini bahwa alam dikuasai oleh jin yang ada di angkasa (Taikamauna), mendiami hutan dan gunung-gunung (Taikaleleu), dan berdiam di air (Kameina) (Kruyt. 1979). Dalam konteks ini, titi merupakan simbol yang mengandung makna bagi tubuh pemakainya.

Realitas titi yang memiliki banyak makna maka dalam konsep budaya titi tidak hanya sekedar tanda, akan tetapi berupa simbol. Tanda berbeda dengan simbol. Tanda hanya memiliki satu objek, sementara simbol memiliki banyak obyek (Arthur Asa Berger, 2000. Akhyar Yusuf Lubis, 2004). Pertanyaannya kemudian adalah, sebenarnya simbol apakah yang direpresentasikan oleh titi? Atau dalam konsep Heidegger, sebenarnya eksistensi titi itu merepresentasikan makna Ada-nya siapa?

Tulisan ini berawal dari kepercayaan saya terhadap hasil kebudayaan suku-suku dahulu (tradisional). Saya percaya bahwa hasil-hasil budaya tersebut juga merupakan kebenaran meskipun ketika zaman modern beberapa dari hasil budaya itu dianggap buruk atau dalam konsepsi agama dihukumi haram. Salah satu hasil budaya tersebut adalah titi, yaitu sebutan tato pada suku Mentawai di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.

Menurut saya, setiap hasil budaya masyarakat tradisional seperti halnya titi, pasti memiliki sisi rasional dan filosofisnya, yang itu tidak bertentangan dengan nilai spiritual (ketuhanan) yang dianggap selalu bertentangan dengan keburukan itu sendiri. Pandangan ini masih sangat subyektif, untuk itu perlu dikaji.

Berdasarkan pemahaman ini, melalui pendekatan beberapa epistemologi, yaitu fenomenologi hermeneutik Ernst Casirer dan Heidegger, tulisan ini ingin mengkaji posisi tubuh sehubungan dengan tradisi titi dalam kehidupan suku Mentawai. Kajian akan difokuskan pada simbol titi, kemudian dari simbol-simbol itu, akan dilihat makna ke-Ada-an titi bagi suku Mentawai.

B. Tato, Simbol dan Makna Ada 

Tato

Tato [1] adalah salah satu hasil budaya manusia yang penuh dengan simbol. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun 2005, halaman 1149, kata tato merupakan pengindonesian dari bahasa Inggris tattoo. Tato diartikan sebagai gambar atau lukisan pada kulit tubuh. Menato berarti melukis pada kulit tubuh dengan cara menusuki kulit dengan jarum kemudian memasukkan zat warna ke dalam bekas tusukan itu.

Menurut Ensikopedia Indonesia (1984: 241), tato diartikan sebagai lukisan berwarna permanen pada kulit tubuh. Sementara itu, menurut Ensiklopedia Americana (1975: 312), tattooing is the production of pattern on the face and body by serting dye under the skin, some anthropologist think the practice developed for the painting indication of status, or as mean of obtaining magical protection.

Berdasarkan kesepakatan para ahli sejarah, kata tato berasal dari bahasa Tahiti ta-tu atau tattau yang artinya memberikan tanda atau simbol pada tubuh. Kata tato pertama kali diperkenalkan ke dunia luar Tahiti oleh Joseph Banks pada tahun 1769 setelah kapalnya bersandar di Tahiti. Di sana Banks melihat tubuh orang Tahiti penuh dengan tato (Anne Nicholas, 1996).

Tato tertua konon pertama kali ada di kebudayaan Mesir kuno sekitar tahun 4000 SM. Pada tahun 1992, ditemukan tubuh manusia yang sudah membeku di atas pegunungan es dekat perbatasan antara Austria dan Itali. Tubuh tersebut diperkirakan telah berusia lebih dari 5000 tahun. Pada tubuh itu terdapat 58 guratan berupa garis-garis. Berdasarkan penemuan ini, maka guratan tubuh yang selanjutnya disebut tato telah ada ribuan tahun silam (Nicholas, 1996).

Tato alias Wen Shen berkembang di Cina sekitar tahun 2000 SM. Wen Shen yang proses pembuatannya mirip dengan akupunktur ini merupakan simbol bahwa seseorang pernah di penjara. Sementara itu, di Tiongkok pada beberapa etnis minoritasnya, seperti etnis Drung, Dai, dan Li, hanya dilukis pada wajah para wanita dari etnis Li dan Drung. Tato dibuat agar wajah mereka terlihat jelek sehingga tidak diculik untuk dijadikan budak. Meskipun sekarang keadaan mereka tidak lagi terancam, namun anak gadis mereka pada usia 12-13 tahun ditato wajahnya sebagai lambang kekuatan dan kedewasaan (Jean Chriss Miller, 1997).

Bangsa Yunani kuno memakai Tato sebagai penanda para anggota mata-mata perang pada saat itu. Tato menunjukan pangkat dari si mata-mata tersebut. Berbeda dengan bangsa Romawi, Tato dipakai sebagai penanda bahwa seseorang itu berasal dari golongan budak dan terbedakan dari kaum bangsawan. Tato juga dicetak pada setiap tubuh para tahanan Romawi (Amy Krakov, 1988).

Orang Polynesia mengembangkan tato sebagai simbol komunitas, keluarga, dan status. Pada suku Maya, Inca, dan Aztec, tato berfungsi sebagai perhiasan tubuh (Miller, 1997. Krakov, 1988). Pada suku di Afrika Selatan, tato dipakai untuk alat kesehatan. Sedangkan pada suku Nuer di Sudan, tato berfungsi sebagai ritus inisiasi penanda kedewasaan anak laki-laki (Janes M Davidson, 1979).

Seni tato orang Indian (suku Kwakiut) menampilkan gambaran beruang dan kodok pada tubuhnya untuk digunakan pada upacara-upacara tertentu dan untuk kepentingan status tertentu (lihat Frans Boas 1955: 250-251). Pada masyarakat Dayak di Kalimantan yang mempercayai tato dan gaya anting pada setiap orang maknanya berlainan. Gaya anting yang berbeda-beda menandakan perbedaan status atau jenis kelamin. Gaya-gaya tertentu menandakan bahwa seseorang adalah seorang yang jago atau gagah berani (Yekti Maunati, 2004:150).

Bagi umumnya masyarakat modern, tato dianggap sebagai simbol pribadi. Bagi pemiliknya, tato dianggap simbol seni, menyimbolkan keberanian, dan kejantanan. Bagi Negara, tato merupakan simbol kriminal. Bagi media, tato dianggap sebagai subyek yang dapat ditampilkan agar penonton terbawa untuk memberi label pada korban, penjahat, artis, atau penguasa (Hatib Abdul Kadir Olong, 2006).

Simbol

Manusia adalah makhluk yang secara sadar diberi kemampuan dapat menciptakan simbol untuk dipakai sebagai media berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama-manusia, makhluk lainnya, dan penciptanya dalam kehidupan ini. Penggunaan simbol ini konon sudah dipakai sejak ribuan bahkan jutaan tahun silam atau masa prasejarah (seperti yang terbaca dalam sejarah tato di atas). Pada masa sekarang ini, simbol justru menemukan momentumnya. Ketika manusia sudah mengenal tulisan (sejarah), simbol justru semakin berkembang. Manusia semakin pandai menciptakan simbol-simbol baru yang bahkan itu sulit dipahami oleh manusia lainnya atau bahkan dilebih-lebihkan atau tipuan “simulacra”.

Dalam realitas kehidupan, ada empat istilah yang sering dianggap sama oleh masyarakat, yaitu tanda, ikon, indek, dan simbol (ada yang menambahkan kode). Berger (2000) dengan mengutip dari Charles Sanders Pierce, seorang filosof Amerika, 1839-1914, mencoba membedakan keempat istilah tersebut.
  • Tanda (istilah), sesuatu yang ditandai dengan pasti (definisi), dan api dan asap (contoh). 
  • Ikon (istilah), persamaan sesuatu (definisi), dan gambar atau patung tokoh-tokoh  (contoh).
  • Indeks (istilah), hubungan sebab akibat sesuatu (definisi), dan air dipanaskan mendidih (contoh).
  • Simbol (istilah), sesuatu dengan makna beragam (definisi), dan tato dengan makna seni,ekspresi spiritual, dan kejantanan (contoh).
  • Kode (istilah), Isyarat sesuatu (definisi), dan nomor-nomor rahasia (contoh).
Diantara keempat istilah di atas, tanda dan simbol yang sering membingungkan. Susanne K Langer menyebutkan, ada dua perbedaan antara keduanya, yaitu: pertama, tanda mempunyai hubungan langsung dan pasti dengan maknanya, seperti asap merupakan tanda langsung dari adanya api dan tidak bisa menjadi tandi bagi air atau tanah. Kedua, tanda biasanya berkaitan dengan tindakan, sedangkan simbol tidak pasti merangsang orang untuk bertindak tetapi berkait dengan konsep yang perlu ditafsirkan. Seperti bendera adalah simbol, tetapi bendera merah dan putih adalah simbol Negara Indonesia, atau bendera kuning atau hitam adalah simbol duka cita dan kematian (Susanna K. langer, 1955: 49).

Dalam realitas, tanda memiliki empat bentuk, yaitu tanda-tanda periklanan, objek dan budaya material, aktivitas-aktivitas dan penampilan, dan suara serta musik. Dalam kehidupan manusia, tanda memiliki masalah-malasah tertentu, seperti terjadi pengacauan akibat banyaknya tanda, terdapat kerancuan kode pada pembuat tanda, perubahan arti dari orang lain pembuat tanda, dan ambiguitas dalam tanda-tanda (Berger, 2000). Ketika tanda menjadi ambigu inilah, maka tanda berubah menjadi simbol. Satu simbol dapat ditafsirkan dengan beragam makna. Hal itu disesuaikan dengan pemaknaan terhadap pemakaian simbol itu. Simbol memiliki sisi denotasi dan konotasi, sementara tanda hanya memiliki sisi denotasi saja. Jika demikian, maka simbol menuntut untuk ditafsirkan (dibaca) agar didapatkan makna yang sesuai dengan konteksnya dan seimbang.

Simbol adalah wahana untuk konsepsi tentang obyek. Nama diri adalah simbol. Seperti Gandhi adalah simbol anti kekerasan. Soekarno adalah simbol proklamasi Indonesia. Dalam hal ini, simbol menjadi representasi mental pemiliknya.

Tubuh adalah simbol bagi pemiliknya. Tubuh gemuk adalah simbol kesejahteraan ekonomi pemiliknya. Kulit putih simbol kebersihan. Kulit bertato simbol pemiliknya suka seni. Dalam konteks ini, tubuh menjadi bagian yang dapat dijadikan status pemiliknya.

Manusia menggunakan simbol dalam kehidupannya karena ia memiliki kesadaran dan kemampuan simbolisasi. Bahkan, menurut Freud (1900/1965) berbicara dan mimpi juga merupakan bahasa, yaitu bahasa yang mengandung simbol tertentu. [2] Kemampuan mencipta dan mengkreasi inilah yang menjadi salah satu pembeda antara manusia dengan hewan. Maka dari itu, cassirer dan Langer menolak pandangan beberapa psikolog seperti Pavlov atau Skiner yang menggunakan tikus dan simpanse sebagai bahan eksperimennya.

Proses simbolisasi yang terjadi dalam pikiran manusia tidak hanya menjadi perekam. Akan tetapi juga dapat menjadi sarana yang dapat bertransformasi hingga memunculkan simbol-simbol baru. Simbol itu berangkaian hingga sampai pada penafsiran yang tiada berujung.

Simbol sebagai sebuah teks, pembacaanya terjadi dalam dua bentuk. Untuk itu Langer secara formal membedakan dua macam simbol, yaitu:
  • Simbol diskursif, yaitu simbol yang cara penangkapannya menggunakan proses intelektual yang panjang, penyampaiannya bersifat sistematis dan logis, tidak secara spontan. Seperti peristiwa penyerangan WTC di New York, maka untuk mengetahui maknanya diperlukan penjelasan tentang bagaimana kronologisnya, tanggal dan jamnya, serta proses penyerangannya.
  • Simbol presentasional, yaitu kebalikan dari simbol diskursif. Penangkapannya spontan tidak bersifat logis dan bertahap. Seperti keindahan alam dan kecantikan akan dibaca secara spontan tidak perlu penjelasan tentang bagaimana bisa indah dan menjadi cantik.
Dalam kebudayaan manusia, simbol merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan tradisi. Simbol menjadi elemen dasar dari keterikatan suku-suku terhadap tanah kehidupannya. Simbol-simbol itu muncul dalam bentuk ritual upacara tradisional, kepercayaan pada tuhan, alam, leluhur, atau kesenian. Dalam konteks ini, simbol merupakan kehidupan itu sendiri bagi suku-suku tersebut. Salah satunya titi bagi suku Mentawai.

Makna Ada

Adalah filosof Jerman Martin Heidegger yang menyatakan bahwa keberadaan manusia dilihat dari tiga hal, keberadaanya (Da-sein), keberadaannya di dunia, dan keberadaannya tersebut untuk menuju kematian. Artinya bahwa orang dikatakan ada jika dirinya sudah mati karena jika masih hidup maka proses keberadaaanya masih belum selesai (Martin Heidegger, 1996).

Bagi Heidegger, manusia adalah makhluk yang secara sadar menggunakan kemampuannya untuk meng-Ada, di mana itu tidak dapat dilakukan oleh makhluk lainnya. Manusia adalah makhuk yang lahir ke dunia seakan terlempar begitu saja. Untuk itu manusia tidak dapat memprotes atau mempertanyakan kelahirannya, akan tetapi manusia dapat mempertanyakan ke-ada-annya (Heidegger, 1996).

Atas kemampuan sadarnya ini, maka keber-ada-an manusia ini pasti bermakna. Namun, dalam filosofi Heidegger yang dipertanyakan bukan apakah ada karena yang bertanya manusia (Da-sein), melainkan apa makna ber-ada. Dengan begitu, terbedakan antara pengalaman langsung (ontik) dan refleksi filosofis akan makna ada (ontologi) (Seno Gumira Aji Darma, 2000).

Berdasarkan pendekatan ini, maka titi sehubungan dengan kehidupan manusia Mentawai memiliki makna keber-ada-nya tersendiri, tidak hanya sekedar simbol. Saya sebagai pengkaji ingin melihat titi dari sisi ini. Setidaknya ada tiga pihak yang perlu dikaji makna ber-ada-nya, yaitu orang Mentawai (Da-sein), titi, dan pengkaji.

Pendekatan Heidegger dalam epistimologi (filsafat pengetahuan) termasuk dalam fenomenologi hermeneutic yang bertujuan untuk memaparkan dan menafsirkan agar sesuatu dapat dipahami keber-ada-annya. Namun, karena pendekatan ini terjadi dalam kerangka keterbukaan Dasein terhadap dunia di mana ia terlontar tanpa dikehendakinya, hal ini bukan merupakan metode pendekatan lagi, melainkan pemaparan dan penafsiran itu sendiri (Darma, 2000).

Pemaparan dan penafsiran titi dianggap perlu karena titi tidak dapat mempertanyakan ada-nya seperti halnya Dasein. Untuk itu, kajian ini penting agar titi dapat dipahami secara seimbang.

C. Titi Mentawai

Salah satu simbol yang hingga saat ini masih ditradisikan oleh suku Menatawai adalah titi. Titi memiliki kekuatan sakral yang dihormati oleh suku Mentawai. Titi menjadi bagian ritual kehidupan yang magis. Titi memiliki asal-usul dan proses pembuatan yang cukup rumit, salah satunya harus didahului dengan upacara punen, yaitu persembahan kepada Taikamuna, Taikaleleu, dan Kameina.

1. Asal-usul

Asal-usul titi tentu saja bermula dari leluhur [3] suku Mentawai. Titi Mentawai konon merupakan titi tertua di dunia. Titi mulai dikenal di kalangan suku Mentawai sejak orang Mentawai datang di kepulauan Mentawai, sekitar tahun 1500-500 SM. Bahkan menurut Ady Rosa dalam bukunya Fungsi dan Makna Tato Mentawai (2000), bahwa titi di pulau Siberut sudah jauh ada sebelum bangsa Mesir mulai membuat tato sekitar tahun 1300 SM.

Sebagai sebuah tradisi adat, titi dipraktekkan berdasar kepercayaan adat Arat Sabulungan. Istilah ini berasal dari kata sa (se) yang berarti sekumpulan dan bulung yang berarti daun. Secara umum, Arat Sabulungan diartikan dengan sekumpulan daun yang dirangkai dalam lingkaran yang terbuat dari pucuk daun enau atau rumbia. Daun ini diyakini memiliki tenaga gaib. Daun inilah yang kemudian dipakai sebagai media pemujaan terhadap penguasa-penguasa alam gaib dalam kosmologi suku Mentawai.

Manurut Adi Rosa (2000), orang Mentawai sudah menato tubuhnya sejak kedatangan mereka ke pantai barat Sumatera. Bangsa Proto Melayu ini datang dari daratan Asia (Indocina), pada Zaman Logam, 1500 SM-500 SM.
Titi mulai dicacahkan pada tubuh anak Mentawai ketika mereka berumur tujuh tahun. Tubuh mereka akan semakin banyak titi seiring pertambahan umurnya. Hal ini salah satunya disebabkan oleh perilaku lelaki dewasa yang penuh dengan aktivitas sakral dan adat. Seperti contohnya ketika mereka pulang dari membunuh musuh, sebagai rasa bangga atas keberhasilan tersebut, maka tubuh mereka akan di titi (Kruyt, 1979).

Pada setiap pulau, titi Mentawai digambar dalam beragam motif. Perbedaan ini hanya disebabkan oleh kebiasaan saja. Namun, secara umum titi mentawai bermotif pohon sagu. Hal ini didasarkan pada sebuah mitos bahwa konon dahulu terdapat seorang pria yang menjelmakan dirinya sendiri menjadi pohon Sagu. Pria inilah yang menjadi pelindung suku Mentawai dari kejahatan orang luar. Maka untuk menghormatinya, titi digambar mirip pohon sagu.

Selain itu, penggambaran pohon sagu juga didasarkan pada konsep kosmologis suku Mentawai, bahwa Sagu dianggap sebagai pohon kehidupan, karena sagu merupakan makanan pokok orang mentawai, sumber pangan yang tak pernah habis. Pohon sagu memiliki daun yang kecil dan lebat, maka tidak heran jika titi memenuhi seluruh orang Mentawai dari kepala hingga jari kaki. Motif titi yang lain berupa burung enggang, bulan, matahari dan ular naga.

Titi dicacah dengan syarat dan melalui upacara punen pati’ti (upacara pentatoan). Pada upacara ini, seluruh anggota keluarga dan kerabatnya, ditabukan untuk melakukan aktifitas pekerjaan sehari-hari.

2. Bahan dan Alat (batiti)
Pembuatan titi Mentawai masih tergolong tradisional. Begitu juga dengan alat dan bahan yang digunakan. Semua bahan dan alat yang digunakan merupakan sesuatu yang mudah didapatkan di lingkungan sekitar (hutan) masyarakat Mentawai.

Bahan yang digunakan untuk meniti adalah berupa:
  • Serbuk arang dari pohon damar atau yang disebut umo atau arang dari tempurung kelapa
  • Air tebu atau yang disebut hezo
Adapun alat yang digunakan membuat titi, yaitu:
  • lidi dari serat daun kelapa untuk membuat pola motif
  • tembaga atau paku atau jarum untuk menusukkan ke kulit[4]
  • kain untuk lap
3. Bentuk dan Motif

Menurut Rosa (2000), ada sekitar 160 macam motif titi yang ada di pulau Siberut. Masing-masing motif berbeda satu sama lain. Setiap orang Mentawai, baik laki-laki maupun perempuan bisa memakai puluhan tato di sekujur tubuhnya. Dari semua motif yang ada, motif pohon sagu paling banyak dipakai. Beberapa motif titi Mentawai antara lain:
  • motif pohon sagu
  • motif lawa-lawa
  • motif burung
  • motif matahari
Satu hal yang perlu diperhatikan pada titi adalah, bahwa motif-motif titi tidak diciptakan secara tunggal atau terpisah dan berdiri sendiri, melainkan secara menyeluruh dibuat lengkap untuk seluruh bagian tubuh, yaitu dada, punggung, sisi rusuk, perut, lengan tangan, pinggul, pantat, paha, betis, kaki, leher dan wajah.

Keseluruhan motif dan design terdiri dari garis-garis geometrikal sederhana yang melintang di berbagai bagian tubuh yang berakhir dengan garis-garis kurva yang elegan pada kedua belah pipi wajah. Elemen utama dari design keseluruhan adalah garis sentral yang mengarah dari dagu turun menuju ke bagian atas area rambut kemaluan. Garis ini kadang terputus dan mengarah menuju pundak dan bahu yang bercabang ke bagian tubuh bagian atas lainnya dengan design yang sangat unik pada bentuk anatomi tubuh, seperti yang jelas terlihat pada elemen-elemen garis di bagian dada yang menyimbolkan bunga pohon Sagu.

Elemen-elemen garis pada kaki merepresentasikan batang utama pohon sagu. Garis-garis terputus yang panjang pada lengan turun ke bawah menuju pergelangan tangan mereprestasikan cabang-cabang pohon. Adapun pada tangan dan pergelangan kaki menyimbolkan kulit pohon Sagu. Simbol-simbol yang merepresentasikan burung dan binatang-binatang yang hidup di Pulau Mentawai pada bagian kaki juga terdapat pada titi beberapa laki-laki selain elemen-elemen garis dan kurva.

Titi Mentawai tidak ada motif tengkorak sebagai simbol kepala orang yang dibunuh. Mencacah titi tengkorak di badan dianggap mengejek musuh dan akan menyebabkan peperangan yang tak berkesudahan. Suku Mentawai mematuhi larangan agar jangan membangkitkan dendam dan sakit hati. Bahkan justru sebaliknya, seorang Mentawai yang berhasil membunuh, maka nama pembunuh tersebut dilarang untuk disebut agar tidak menyinggung perasaan keluarga lawan yang dibunuh. [5]

Motif titi Mentawai yang sarat makna kosmologi dan keberadaannya yang sudah lama tampaknya menunjukkan bahwa titi tidak hanya sebagai simbol estetika belaka, tetapi juga mengandung nilai spiritual dan kehidupan di dalamnya. Artinya, bahwa tidak mungkin ada satu goresan pada tubuh orang mentawai yang tidak mengandung arti.

4. Pembuat dan Cara Pembuatan

Titi Mentawai dibuat oleh orang khusus, disebut Sipatiti. Biasanya adalah seorang dukun yang disebut Sikerei adalah seorang lelaki dan tidak boleh perempuan. Tidak diketemukan alasan kenapa harus laki-laki, namun sepertinya karena laki-laki dominan dalam penguasaan pelaksanaan upacara Mentawai. Selain itu juga karena suku Mentawai menganut sistem patrilineal.

Pembuatan titi terlebih dahulu harus melalui proses upacara persembahan atau yang disebut dengan punen. Hal ini merupakan bentuk penghormatan kepada penguasa bulan, dunia, maupun yang ada di bawah bumi (Marsden, 1999). Upacara dipimpin oleh seorang sikerei. Upacara yang dilakukan dengan menyembelih beberapa ekor babi ini harus dibiayai oleh orang yang di titi dan hanya dilakukan pada awal pembuatan titi.

Pembuatan titi biasanya diawali dengan membuat motif terlebih dahulu. Setelah itu, titi diukir dengan menusukkan mata jarum hingga menembus kulit. Dahulu, proses ini dilakukan berulang-ulang hingga pewarnaan betul-betul terlihat bagus. Akibat proses ini, tidak heran jika terkadang seorang terkenan demam. Sebelum mengenal jarum, orang Mentawai mengukir titi dengan menggunakan duri dari pohon jeruk.

Setelah pola gambar terukir di bagian tubuh, selanjutnya sikerei mengambil paku dan mulai ditusuk-tusukkan ke tubuh mengikuti pola yang sudah ada. Paku biasanya ada dua ukuran, yaitu tujuh dan lima inci. Sambil menusuk-nusukan paku ke kulit, seorang sikerei membaca mantra.

Pembuatan titi di Mentawai dilakukan dalam tiga tahap, yaitu:
  • Pada saat seseorang berusia 11-12 tahun, dilakukan pentatoan di bagian pangkal lengan
  • Tahap kedua usia 18-19 tahun dengan menato bagian paha
  • Tahap ketiga setelah dewasa.
C. Membaca titi

1. Titi sebagai simbol

Titi adalah produk kebudayaan suku Mentawai. Kebudayaan dalam hal ini saya definisikan dengan merujuk pada konsep Clifford Geertz yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah pola-pola dari pengertian-pengertian atau makna-makna yang terjadi secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransformasikan secara historis, juga merupakan sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik, yang dengan cara itu manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan (Geertz, 1973: 89).

Dengan demikian, saya akan memposisikan titi sebagai sebuah simbol yang mengandung konsepsi-konsepsi yang diwariskan dengan bentuk simbolik, yang dengan cara ini suku Mentawai dapat berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan. Untuk itu, agar konsep-konsep tersebut dapat dipahami maka perlu dibaca (ditafsir).

Definisi di atas saya rujuk karena saya memahami bahwa secara budaya manusia dan kehidupannya tampak lebih banyak berhadapan dengan simbol, seperti simbol matematika, simbol logika, simbol agama, simbol dalam seni, atau simbol dalam bahasa. Dikarenakan banyak berhadapan dengan simbol inilah, manusia dikenal dengan manusia simbol atau animal symbolicum. Manusia lebih merupakan makhluk simbolis (animal symbolicum) daripada manusia rasional (animal rational) (Ernst Cassirer, 1956; 26).

Dalam tradisi suku Mentawai, titi memuat beberapa simbol, antara lain:

Simbol identitas suku

Pada suku-suku pedalaman, ketika budaya tulis dikertas tidak begitu dikenal, maka identitas mereka banyak dikenali dari penggunaan benda-benda disekitar lingkungan mereka tinggal. Dari kebudayaan suku-suku inilah dikenal istilah sandi, berbagai model ikatan tali, atau semapur dalam aktivitas pramuka atau system intelejen pada angkatan bersenjata baik TNI maupun Polri.

Jika dilihat dari hampir semua orang Mentawai bertiti, maka sebenarnya titi tidak sama sekali menunjukkan identitas suku. Akan tetapi, karena motif titi yang berbeda-beda antarorang Mentawai yang ada di kepulauan Mentawai, misalnya antara yang di pulau Siberut dengan Sipora, maka titi menjadi identitas pembeda di antara suku Mentawai. Perbedaan ini mempunyai fungsi untuk saling mengenal di antara mereka.

Selain itu, sehubungan dengan orang di luar kepulauan Mentawai, titi menjadi identitas wilayah yang ditempati oleh suku Mentawai. Artinya, bahwa kepulauan Mentawai dihuni oleh mayoritas suku Mentawai yang memiliki tradisi titi. Ady Rosa dalam laporan hasil penelitiannya berjudul Fungsi dan Makna Tato Mentawai (2000) menyimpulkan titi merupakan simbol kenal wilayah dan kesukuan atau semacam kartu tanda penduduk (KTP) pada masyarakat umum.

Sebagai sebuah simbol identitas suku, titi dalam hal ini menjadi kebudayaan unik yang tidak dimaknai negatif. Tubuh dalam hal ini dimaknai sebagai ruang pribadi yang dipergunakan secara sosial namun tidak bertentangan dengan aturan sosial, bahkan menjadi perekat sosial. Hal ini berkebalikan dengan tato modern yang dianggap sebagai simbol masalah sosial karena tato sering terlihat dipakai oleh orang-orang yang memiliki masalah sosial, seperti penjahat atau kriminal.

Simbol status sosial

Dalam sebuah kunjungannya ke kepulauan Mentawai pada tahun 1979, Dr. Albert C. Kruyt dari Belanda, mencatat bahwa saat itu apabila ada laki-laki Mentawai yang pulang dari membunuh musuh atau berburu, maka laki-laki tersebut, kaum perempuan, anak-anak muda, dan gadis akan di tato kening atau tubuhnya. Mereka yang sudah memiliki tato, maka tatonya akan diperbaharui agar lebih jelas atu ditambah. Hal ini dilakukan sebagai ungkapan kegemberiaan atas keberhasilan mereka membunuh musuh atau berburu. Bagi laki-laki pembunuh dan pemburu, dalam kehidupan sosial dia akan dianggap pahlawan dan status sosialnya tinggi karena dihormati (Kruyt, 1979: 20).

Mencermati apa yang dikeetemukan oleh Albert Kruyt di atas, maka titi jelas sekali merupakan symbol sosia bagi pemiliknya. Tubuh pemilik titi menjadi media yang efektif dan komunikatif untuk menunjukkan bahwa orang tersebut berbeda statusnya dengan kebanyakan orang Mentawai umumnya. Keberhasilan membunuh musuh menjadi alasan seorang dianggap berani dan hebat, sedangkan titi menjadi penegas keberanian dan kehebatannya, selanjutnya dalam interaksi sosial titi berubah menjadi simbol pembeda status.

Dalam hal ini, titi sebagai status sosial berhubungan dengan profesi seseorang. Umumnya, orang Mentawai yang memiliki banyak titi dengan motif yang beragam, maka lambat laun dia akan dipercaya menduduki posisi sosial di kalangan mereka, seperti menjadi ketua suku atau sikerei (dukun). Maka dari itu, motif titi pada tubuh sikerei dengan umumnya orang Mentawai berbeda-beda. Titi satu sisi merupakan simbol penjelas profesi si pemakai, misalnya sikerei (tabib dan dukun), pemburu binatang, atau orang awam dan pada waktu yang bersamaan menjadi penegas status sosialnya.

Simbol ekspresi spiritual

Ketika wujud tuhan tidak dapat dijangau secara fisik, maka sebagai sebuah usaha untuk mendekatkan diri kepada tuhan, sekelompok manusia yang percaya akan keberadaan tuhan tersebut akan menciptakan sesuatu sebagai perwujudan atau ekspresi dari ketaatan mereka terhadap tuhan ataupun nilai-nilai ketuhanan. Hal ini tidak hanya berlaku pada masyarakat suku-suku terdahulu saja. Pada orang modern, kebdudayaan ini juga masih berlangsung, sebagai contoh adalah penciptaan alat-alat ibadah pada agama-agama formal, seperti kopyah, sajadah, minyak wangi, salip, ka’bah, lonceng, kepala botak, dan sebagainya.

Titi bagi orang Mentawai merupakan benda sakral. Pembuatan titi Mentawai sangat berkait erat kepercayaan Arat Sabulungan mereka. Sebuah ajaran yang mempercayai bahwa dewa-dewa berkuasa atas kehidupan orang Mentawai. Ketaatan pada dewa-dewa tersebut dibayangkan oleh dapat diekspresikan dengan pembuatan titi. Agar mereka dekat dengan tuhannya, tubuh menjadi pilihan rasional untuk mencacah titi. Secara kasarnya dapat dikatakan, mencacahkan titi pada tubuh dianggap menempelkan tuhan pada diri dan kehidupan orang Mentawai. Titi diposisikan sebagai sebuah media untuk mengekspresikan ketaatan spiritual orang Mentawai.

Selain melalui titi, symbol ekspresi spiritual orang Mentawai juga dilakukan ketika proses ritual punen lepa dilangsungkan. Ritual ini adalah ritual wajib sebelum dilakukan pen-titi-an. Upacara punen lepa ini dimaksudkan untuk menyingkirkan pengaruh roh jahat yang dapat mengganggu proses orang pentitian Mentawai khususnya dan kehidupan orang mentawai umumnya.

Simbol kosmologi

Kepulauan Mentawai sedari semula alamnya banyak ditumbuhi pohon sagu. Begitu juga sejak kedatangan suku Mentawai ke pulau ini, agu menjadi sumber kehidupan pertama suku Mentawai. Realitas ini, memberi pengaruh terhadap kosmologi orang Mentawai di mana pohon sagu dianggap sebagai pohon kehidupan (hal yang sama terjadi pada suku Dayak Ngaju terhadap pohon batang garing, baca http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2534/pohon-batang-garing-dunia-dalam-pengetahuan-suku-dayak-ngaju-kalimantan-tengah).

Atas dasar itulah, sebagian besar titi di Mentawai dicacah dengan motif pohon sagu. Pohon sagu dianggap representasi dari kemurahan dewa terhadap kehidupan suku Mentawai. Untuk itu, agar dewa selalu melindungi mereka kemana pun pergi, maka pohon sagu perlu dilukis pada tubuh. Tuhan perlu didekatkan pada kehidupan suku Mentawai melalui tubuh.

Motif pohon sagu dicacah diseluruh tubuh orang Mentawai dari mulai kepala hingga kaki. Bagian kepala biasanya dicacah titi berupa garis-garis yang menyerupai daun sagu yang menjuntai, begitu juga pada leher, dada, dan tangan.

Terkadang titi hanya berupa titik-titik atau gambar abstrak burung yang sering hinggap dipohon sagu. Cacahan ini terus berlanjut hingga sampai kaki, yang dicacah seperti akar pohon sagu.

Dalam konteks ini, titi menjadi representasi dari konsep kosmologi orang Mentawai dari pemaknaan mereka terhadap pohon sagu tersebut. Dalam hal ini terdapat dua symbol, yaitu pohon sagu sebagai simbol kosmologi, dan titi yang dilukis pohon sagu juga merupakan simbol kosmologiyang ditubuhkan karena dicacah pada kulit tubuh.

2. Simbol Pada Tato Modern

Berbeda dengan titi Mentawai, tato modern memiliki motif-motif beragam dengan simbol yang beragam pula, dan itu tidak berkaitan secara langsung dengan akar kehidupan pemakainya karena kebanyakan pemakai dating dari orang modern yang bukan berasal dari suku penghasil tato.

Tato modern terbagi dalam tiga motif, yaitu campuran, binatang, dan kepercayaan atau mitos. Sebagai bahan perbandingan, berikut adalah beberapa simbol tato modern.

Motif dan simbol campuran
  • Apel, dianggap simbol awal kehidupan yang baru. Anggapan ini diambil dari kisah Nabi Adam dan Hawa.
  • Pisau, simbol loyalitas terhadap sesuatu hal atau keteguhan hati. Anggapan ini di dapat dari kebudayaan bangsa Jepang yang rela memotong jari sebagai tanda penyesalan dari kegagalan yang dilakukan untuk menaikan harga diri yang telah jatuh.
  • Mata, simbol sisi keingintahuan yang lebih dan mengarah kepada sifat waspada. Anggapan ini di dapat dari para napi yang berada di dalam penjara, di mana itu sebagai tanda bahwa mereka pernah dilecehkan secara seksual oleh napi lain. Mata juga digunakan sebagai tanda bahwa pemilik tato tersebut merupakan informan yang telah di ketahui identitasnya.
  • Kipas, biasanya dalam motif tato digambarkan kipas oriental. Dianggap simbol sisi keindahan dan feminism dari seorang wanita, karena selalu dihubungkan dengan seorang Geisha yang memegangnya. Akan tetapi ada yang menolak, karena di Jepang kipas merupakan alat untuk mengusir roh jahat.
  • Bendera dianggap symbol patriot atau cinta tanah air. Di luar negeri banyak motif bendera dijadikan tato sebagai status kewarga negaraan dan sisi cinta tanah air.
  • Fleur de Lis atau bunga lili. Digunakan dalam simbol pramuka di seluruh dunia. Lambang ini sebenarnya adalah lambang resmi kerajaan Perancis yang mempunyai arti kemerdekan dan kebebasan.
  • Buah Anggur. merupakan simbol tua dari bangsa Greece (Yunani) yang melambangkan Dewa Dioysus. Umumnya symbol ini dipersepsikan sebagai simbol kesuburan dan kehidupan. Namun, dalam motif tatto, anggur dianggap symbol kehidupan yang sempurna dengan alkohol yang selalu menemaninya.
  • Bunga lotus (teratai). Dalam budaya Cina, bunga lotus adalah bunga yang indah walaupun tumbuh di daerah yang berlumpur. Dalam motif tato dianggap sebagai symbol semua itu indah walaupun tak ada yang sempurna.
  • Bintang nautical. Motif ini sering dipakai sebagai motif tato sejak jaman dulu sampai sekarang. Bintang yang memiliki Strip warna hitam dan merah, dan tidak menutup penggunaan warna lain, dianggap symbol sinar kehidupan yang tak pernah padam atau kekuatan yang dimiliki oleh semua orang.
  • Jaring laba-laba dianggapa simbol kehidupan. Namun asal dari motif ini adalah dari Gangster motor terkenal yang bernama Hells Angels yang memiliki arti penjaga bikers agar tidak terjatuh saat mengendarai motor Harley. Jarring laba-laba juga dianggap sebagai symbol penjaga agar terjauh dari kesialan.
  • Jangkar umumnya dianggap sebagai smbol Pelaut, namun arti sesungguhnya adalah symbol yang memiliki arti perlindungan, harapan, dan pengorbanan. Symbol yang ditekankan sebenarnya adalah rsa tanggung jawab sebagai kepala keluarga.
  • Bunga hibiscus (bunga cengkeh) dianggap symbol nasioanal bangsa Irish (Irlandia), yang memiliki arti kekuatan dan ketegaran seorang wanita. Biasanya untuk menunjukan kasih sayang kepada ibu.
  • Bulu dianggap simbol yang mengambarkan kreativitas atau perasaan seperti terlahir kembali.
  • Hati dianggap symbol sifat kasih sayang.
  • Daun dianggap simbol kebahagian atau baru terlahir kembali.
  • Bulan dianggap simbol irama kehidupan yang silih berganti.
  • Bunga mawar dianggap sebagai symbol kecantikan dan keindahan yang abadi atau kesuburan. Symbol ini konon diambil dari konsepsi kaum pagan sebagai simbol wanita.
  • Tengkorakdianggap simbol kelam atau kematian.
Motif dan simbol binatang
  • Burung dianggap simbol kebebasan dan keindahan. Hal ini diwakili oleh warna yang cerah. Burung yang sering dipakai adalah burung Walet, Hantu, Phoenix, Gagak, dan lain-lain. Kaum pria biasanya mengambil motif burung Walet yang dihiasi dengan Bintang dan dianggapa sebagai symbol bangkit dari kegelepan, atau burung Gagak symbol kebangkitan. Sementara itu, kaum wanita lebih banyak memakai variasi seperti Phoenix sebagai simbol melambangkan kekuatan, dan burung Merak simbol keindahan.
  • Kura-kura dianggap sebagai simbol umur yang panjang.
  • Singa dianggap simbol keberanian, waspada, dan keabadian.
  • Monyet diartikan sebagai simbol pengharapan, pengetahuan atau kekuatan setan. Gambar monyet dikenal dengan tiga arti dalam istilah Three Mongkey, yaitu see no evil, talk no evil, and hear no evil.
  • Kodok dianggap simbol perubahan positif dalam kehidupan.
  • Anjing dianggap simbol kesetian dan kepercayaan. Konon dari pemaknaan symbol ini dikenal kalimat Man’s Best Friend.
  • Capung dianggap simbol kehidupan dan spiritual.
  • Kadal dianggap simbol kekuatan untuk bangkit dari kesulitan. Anggapan didasarkan pada realitas bahwa Kadal, Cicak atau Tokek saat terancam akan memutuskan ekornya untuk bertahan hidup dan seiring waktu ekor tersebut akan tumbuh kembali.
  • Kucing dianggap symbol sisi wanita yang feminim dan lembut. Hal ini dikarenakan kucing merupakan hewan yang haus kasih sayang. Sementara itu, bagi bangsa Mesir kucing dianggap simbol kematian karena kucing dianggap dapat membantu menghubungkan kehidupan alam dunia dengan alam kematian.
  • Ikan seperti motif ikan Koi, Cupang, Hiu, Lumba-lumba, dan lain-lain. Motif ini dianggap sebagai simbol kesuburan. Hal ini ditiru dari bangsa Romawi. Sementara itu, dalam kebudayaan Jepang, Koi merupakan symbol kekuatan dan keindahan.
  • Banteng dianggap symbol kekuasaan dan kekuatan.
  • Kupu-kupu umumnya dianggap sebagai sebagai simbol keindahan. Namun, konon arti sebenarnya adalah sebagai tanda syukur akan keindahan warna warni kehidupan di dunia walaupun sementara. Hal ini dikarenakan umur kupu-kupu yang singkat, akan tetapi memiliki keindahan warna-warni pada sayapnya.
Motif dan simbol kepercayaan atau mitos
  • Naga dianggap memiliki dua pengertian, yaitu untuk naga Amerika dianggap simbol kekuatan. Sementara untuk naga Jepang dianggap simbol keinginan (cita-cita) dan kepintaran. Biasanya untuk naga Jepang di gabung dengan Macan untuk memvisualkan keinginan dan keindahan.
  • Salib dianggap symbol dari agama Kritiani yang diartikan sebagai pengorbanan dan cinta kasih.
  • Peri dianggap symbol sifat anak kecil yang selalu tersenyum. Anggapan ini di dapat dari bangsa Irish (Irlandia) yang diartikan sebagai orang yang optimis.
  • Yin-Yang dianggap simbol Keseimbangan.
  • Malaikat biasanya digambar dalam dua model, yaitu ada malaikat pria dan malaikat wanita. Namun keduanya memiliki kesamaan arti yaitu sebagai simbol perlindungan, keamanan, dan penjaga harapan dan cita-cita.
  • Ganesha sebagai motif agama Hindu yang menggambarkan Dewa berkepala gajah yang memiliki arti waspada dan perlindungan. Namun masyarakat Indonesia sendiri memiliki pengertian sebagai simbol Ilmu Pengetahuan.
  • Griffin adalah makhluk Mitologi dari bangsa Yunani kuno. Griffin digambarkan sebagai makhluk yang berkepala Elang namun berbadan Singa dan memiliki sayap. Pada abad pertengahan di Eropa, Griffin dijadikan simbol religi yang dinamakan Zoroastrianism. Akan tetapi oleh Kaum Gereja Katolik kemudian dijadikan sebagai simbol yang mengambarkan dua sisi dari Tuhan Yesus.
  • Mata Horus dianggap sebagai simbol dari bangsa Mesir yang digambarkan berupa mata kiri dari Dewa Horus. Horus menurut bangsa Mesir kuno merupakan dewa perang dan perlindungan. Namun dalam perkembangannya, mata Horus ada yang mengartikan sebagai simbol perlindungan dari setan. Pada motif tato, biasanya disatukan dengan gambar Jangka.
  • Mata Rah berbeda dengan mata Horus. Jika mata Horus memiliki lekukan ke kiri, sedangkan mata Rah memiliki lekukan ke kanan. Mata Rah merupakan mata kanan Dewa Horus. Mata Rah dianggap sebagai simbol penciptaan kehidupan yang baru.
  • Kokopelli adalah lambang dari Rastafarian atau kaum pecinta musik Reggae atau lambang dari pecinta musik Ska, yaitu berupa gambar orang berambut gimbal yang sedang memaikan alat musik tiup. Sebenarnya Kokopelli konon merupakan simbol bangsa India yang melambangkan kesuburan dan kejantanan pria.
2. Titi sebagai Ada

Jika dibaca lebih mendalam, titi ternyata tidak hanya sekedar simbol bagi suku Mentawai. Akan tetapi titi merupakan representasi Ada dari tiga subyek yang terlibat dalam penciptaan titi, yaitu titi sendiri, sipatiti (pembuat titi yang mewakili suku Mentawai), dan pengkaji.

Ada titi

William Klein (1958) menyatakan bahwa benda bukan sekedar benda, menjadikan yang ontis ke ontologis, karena adaan-adaan dalam keseluruhan jaringannya itulah ada. Jika mencermati perkataan di atas, maka titi dan keseluruhan jaringannya (benda, bahan, upacara, dan doa) ketika pembuatan titi, itu ada dan menunjukkan ada-nya titi.

Peng-ada-an titi secara maknawi diciptakan oleh sipatiti, karena memang titi sebagai benda mati tidak mungkin meng-ada-kan dirinya sendiri, kecuali harus diadakan oleh suku Mentawai sebagai Dasein. Sipatiti secara sadar dan sesuai dengan tugas yang diemban secara adat, memanfaatkan tubuh mereka sebagai media untuk mengadakan titi, baik secara material dapat terlihat maupun secara maknawi dari pemaknaan simbol titi bagi kehidupan suku Mentawai.

Ketika titi diciptakan oleh suku Mentawai sebagai sebuah media untuk merefleksikan segala pengetahuan mereka tentang kosmologi, spiritual, identitas, status, dan pelaksanaan adat, maka saat itulah titi ada. Ber-ada-nya titi ini menjadi semakin nyata ketika titi dimaknai sebagai simbol-simbol tertentu yang memang diperlukan oleh suku Mentawai untuk keberlangsungan kehidupan mereka.

Dengan melihat proses pembuatan titi, maka ke-ada-an titi juga didukung oleh ke-ada-an seluruh jaringan titi dan segala kebudayaan Mentawai. Dalam konteks ini, maka terlihat jelas bahwa kebudayaan merupakan satu kesatuan yang menyeluruh dan saling menopang ke-ada-an sesuatu laiinnya. Dalam konteks ini maka label buruk dan baik pada benda tersebut luluh.

Ada Sipatiti

Da-sein berada dalam dunia bersama dan ditentukan oleh sesama. Dan bagi Sipatiti yang membuat titi, maka dunia akan terbuka kepadanya. Dengan kesadaran yang dimilikinya, sipatiti meng-ada-kan titi yang sekaligus membuat bermakna dirinya.

Sipatiti sebagai Dasein yang mewakili suku Mentawai memberi makna ada-nya dirinya salah satunya dengan menciptakan titi. Jadi sebenarnya antara titi dan Sipatiti saling meng-ada-kan. Keduanya saling meng-ada-kan dengan media tubuh masing-masing dan diperkuat oleh tradisi adat yang memberi makna pada titi dan status Sipatiti.

Satu hal yang perlu dicatat, pemberian makna oleh sipatiti ini bukan kehendak pribadi, melainkan aturan adat yang telah disepakati secara kolektif dan atas kesadaran kolektif suku Mentawai. Realitas ini menunjukkan bahwa bermakna ada-nya sipatiti selaras dengan keinginan bersama dan keterikatan dengan leuhur, sehingga jauh dari rasa egois dan gengsi. Hal ini berbeda dengan tato modern. Penato dan orang yang di tato saling memberi makna tetapi atas keinginan pribadi, bahkan tidak ada keterikatan sama sekali dengan leluhur.

Pemberian makna sipatiti melalui titi karena berdasar aturan adat, juga secara tidak langsung juga menunjukkan ada-nya suku Mentawai dengan segala kebesaran kebudayaannya. Dewa suku Mentawai mungkin tidak memerlukan pembuktian keber-ada-annya, namun melalui titi, dewa justru menjadi Ada yang mengadakan semua.

Ada pengkaji

Ibarat ada sebuah foto dan fotografernya, maka saya sebagai pengkaji adalah orang yang memandang foto tersebut lalu menafsirkannya. Dalam tulisan ini saya istilahkan membaca karena proses membaca adalah juga proses menafsrikan dan memahami.

Satu sisi, saya sama seperti sipatiti, yaitu sama-sama Dasein. Namun, sehubungan dengan titi, saya hanya pembaca titi, sementara sipatiti pembaca sekaligus pencipta titi. Sebagai Dasein yang berada di luar suku Mentawai, maka posisi saya selain memberi makna kepada ke ada-an saya, juga menunjukkan ke-ada-an titi, sipatiti, dan suku Mentawai beserta kebudayaannya. Meskipun proses bacaan saya mungkin tidak sesuai dengan ke-ada-an titi, sipatiti, dan kebudayaan suku Mentawai, akan tetapi usaha pembacaan ini menjadi sebuah usaha memahami suku Mentawai dari sisi titi yang umumnya dianggap buruk oleh dunia modern.

Hubungan antara subyek pencipta dan pemilik (suku Mentawai) dan subyek yang membaca (saya), dalam hal ini berbeda. Subyek pencipta dan pemilik berhadapan langsung (bahkan terikat) dengan titi dan kebudayaan suku Mentawai. Sementara itu, subyek pembaca hanya berhadapan dengan teks dan tidak terikat dengan kebudayaan suku Mentawai. Perbedaan ini justru menjadi penguat bahwa pembacaan saya dan pemberian makna ada pada titi dan kebudayaan suku Mentawai relatif tanpa kepentingan apapun (cair).

Titi dalam kebudayaan Mentawai yang memiliki beragam simbol, khususnya simbol spiritual, dalam bacaan saya juga memberi makna ada kepada keyakinan spiritual orang Mentawai. Apalagi motif titi berupa pohon sagu yang dianggap pohon kehidupan bagi suku Mentawai. Pohon kehidupan dalam hal ini adalah pemberi kehidupan, artinya pemberi ada kesemuanya.

D. Penutup

Manusia sebagai Da-sein selalu dituntut untuk memberi makna pada dirinya sendiri di dunia. Proses pembermaknaan itu dapat dilakukan dengan media apapun, salah satunya adalah tubuh. Pembacaan saya terhadap titi Mentawai membawa kepada satu pemahaman, bahwa ternyata hasil budaya tradisional memiliki muatan filosofis dan nilai spiritual yang luhur. Pemaknaan titi sebagai sebuah perbuatan buruk dan negatif hanyalah dimunculkan oleh orang modern secara sepihak. Hal itu bisa disebabkan oleh faktor politis, ekonomi, media, maupun agama.

Apa yang dipahami oleh suku Mentawai terhadap titi, menjadikan referensi baru, bahwa titi yang dalam budaya modern berkembang menjadi sebutan tato, dapat dijadikan evaluasi dalam kehidupan sosial saat ini, bahwa memposisikan seseorang yang bertato dengan posisi yang berbeda (baca: memarginalkan) adalah perilaku yang tidak tepat.

(Artikel ini pernah dimuat di www.melayuonline.com).

Referensi
  • Adi Rosa, 1994. Eksistensi Tato sebagai salah satu karya seni rupa tradisional masyarakat Mentawai. Tesis. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
  • Akhyar Yusuf Lubis. 2004. Filsafat ilmu dan metodologi postmodernis. Bogor: Akademia
  • Albert C. Kruyt. 1979. Suatu kunjungan ke Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Jakarta: Idayu.
  • Amy Krakov. 1994. Total tato book. New York: Warner Books, inc.
  • Arthur Asa Berger. 2000. Tanda-tanda dalam kebudayaan kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana.
  • Charles Lindsay. 1992. Mentawai shaman. New York Keeper of the Rainforest
  • Ensiklopedia Nasional Indonesia. 1990. jilid 14. Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka.
  • Ernst Cassirer, 1944. Ann essay on man…,Yale: Univerity Press.
  • James C Miler, 1997. The body art book. New York: Barkeley Books.
  • Hatib Abdul Kadir Olong. 2006. Tato. Yogyakarta: LKIS
  • Maarten Hesselt van Dinter. 2007. Tribal tattoo design from Indonesia. Mundurucu Publisers.
  • Martin Heidegger. 1996. Being and Time, terjemahan J. Stambaugh. New York: State Univerisity of New York Press.
  • Seno Gumira Aji Darma. 2002. Kisah mata. Fotografi antara dua Subyek. Yogyakarta: Galang Press.
  • Susan K Langer. 1964. Philosopical sketches. New York: New American Library.
  • William Marsden. 1999. Sejarah Sumatra. Bandung: Rosda Karya.
  • Sander C Pierce. 1959. The Collected Papers of C.S. Pierce, volt 1-6. Charles and Paul Weiss, (eds). Cambridge: Harvard University Press.
  • Yekti Maunati. 2006. Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta; LKIS
  • Iswanto. Teknik Tato Tertua yang Terancam Punah (online). Terdapat di http://www.antara-sumbar.com/id/index.php?sumbar=artikel&j=1&id=71. (Diunduh tanggal 11 April 2010).
  • Aris. Tato Mentawai akan tinggal kenangan (0nline). Terdapat di http://ariyshevche.multiply.com/reviews/item/10. (Diunduh tanggal 9 April 2010)
  • Komunitas Budaya Nusantara. Arti di Balik Motif Tattoo (online). Terdapat di http://www.indonesiansubculture.com/portal/articles.php?article_id=42. (Diunduh tanggal 9 April 2010).
Catatan kaki:
  • [1] Dalam kebudayaan bangsa-bangsa di dunia, tato memiliki banyak sebutan di Inggris disebut tattoo, Danish tatovering, Norwegian Tatovering, Swedish Tatuering, German Tätowierung, French Tatouage, Italian Tatuággio, Spanish Tatuaje, Dutch Tatoeage, Brazilian Tatuagem, Finnish Tatuointi, Polish Tatuaz, Hawaiian Kakau, Portuguese Tatuagem, Lithuanian Tatiuruote, Estonian tätoveering, Slovenian Tetoviranje, Turkish Dövme, Hungarian Tetoválás, Japanese Irezumi/Horimono, Icelandic húðflúr, Greenlandic Kakiorneq, New Zealand (Maori) Moko", dan Polynesia Mana. Sebutan-sebutan di atas secara umum diartikan sebagai gambar atau simbol yang dilukiskan pada permukaan kulit. Tato juga sering diartikan sebagai seni dalam merajah tubuh.
  • [2] Freud dalam bukunya Interpretasi Mimpi (1900/1965) banyak mengemukakan symbol-simbol, baik symbol dalam mimpi maupun yang berasal gagasan nirsadar yang muncul dalam mimpi. Symbol-simbol merupakan penyamaran dari keinginan-keinginan manusia yang ditekan.
  • [3] Leluhur orang Mentawai memiliki banyak versi. Versi pertama menyebutkan, konon datang dari pulau Nias, di sebelah utara kepulauan Mentawai. Adapun nama Mentawai berasal dari sesorang bernama Ama Tawe yang pergi memancing ke laut dan terdampar di suatu pulau akibat badai. Pulau itu tanahnya subur, banyak pohon sagu dan keladi itu justru membuat betah Am Tawe untuk tinggal. Akhirnya dia mengajak istri dan anak-anaknya untuk menetap di Mentawai. Anak keturunan Am Tae inilah yang menurunkan orang Mentawai selanjutnya. Versi kedua, orang Mentawai berasal dari Polinesia. Orang Mentawai adalah sisa orang Polinesia yang terusir oleh kedatangan orang Melayu yang mendominasi pulau Sumatera. Sementara itu, Rosenberg menyatakan orang Mentawai berasal dari kepulauan Pasifik karena orang Mentawai mirip dengan orang dikepulauan tersebut. Versi ketiga, orang Mentawai tidak identik dengan orang Melayu namun bahasa Mentawai ada kemiripan dengan bahasa Batak. Adapun Dr. Oudemans mengatakan bahwa orang Mentawai serumpun dengan orang Batak dan pulau-pulau Batu di Nias (Kruyt, 1979).
  • [4] Dahulu sebelum ada jarum, alat untuk membuat titi adalah sejenis kayu karai, yakni tumbuhan asli Mentawai yang bagian ujungnya diruncingkan.
  • [5] Biasanya, simbolisasi terhadap pembunuh lawan tersebut digambar dengan motif daun yang disebut lakok. Motif ini sangat jarang dan dilukis tepat di tengah jantung. Adapun bentuknya tidak ada kesepakatan pasti. Orang biasa tidak memahami motif ini, kecuali oleh orang tertentu yang terlibat dalam permasalahan.

Komentar

Postingan Populer